“Majikan kamu baik, istrinya orang Indonesia, mereka orang kaya tinggal di Tai Po. Sekarang saya antar kamu ke kantornya majikan kamu, nanti pulang kerumahnya naik mobil, kamu duduk di jok belakang yah..” Tutur Lam Day kepada Intan. Lam Day yang berumur setengah baya itu adalah penyalur tenaga kerja di Hong Kong, Ia terkanal baik dan bertanggung jawab kepada anak buahnya.
“Iya, Lam Day.” Jawab Intan serasay senyum.
Lam Day mengantar Intan ke kantor majikanya yang terletak di kawasan Lai Chi Kok. Sesampai di kantor, Intan dan Lam Day disambut oleh sekertaris cantik. Sekertaris itu tidak kalah cantiknya dengan Intan yang berpenampilan sederhana. Intan mempunyai pastur ideal tinggi badan 175 rambut panjang ikal, wajah oval, matanya bulat seperti gadis Korea. Tak seharusnya gadis secantik Intan menjadi seorang pembantu rumah tangga di Hong Kong, apa boleh buat kalau memang garis perjalanan hidup Intan harus menjadi seorang pembantu. Walaupun ia anak semata wayang dari ibunya yang melahirkanya tanpa seorang Ayah. Sejak kecil ia hidup bersama Nenek dan Kakeknya di kampung, sementara Ibunya bekerja di Jakarta sebagai pembantu rumah tangga semenjak Intan masih kecil.
Setelah sekertaris cantik itu menyuguhkan dua gelas air putih, sekertaris itu kembali ke dalam ruangan Tuan Tan. Tak lama kemudian ia keluar kembali disertai dengan senyuman. Sekertaris itu berucap dengan logat bahasa cantonis yang fasih.
“Tunggu sebentar ya, sebentar lagi Tuan Tan keluar.”
“Kalau begitu saya pulang dulu.” Sahut Lam Day.
“Kenapa terburu-buru?” Tanya sekertaris itu.
“Saya cuman mengantar Intan, dia yang akan bekerja di rumah Tuan Tan.” Lam Day, seraya memegang bahu Intan.
Sekertaris itu paham maksud Lam Day, sekertaris itupun tersenyum mempersilakan Lam Day undur diri dan mengantarnya sampai depan pintu kaca, pintu kaca itu terbuka otomatis, jika ada orang di depan pintu.
Sekertaris itu kembali tersenyum kepada Intan dan berkata.
“Di sini ada majalah, kamu boleh lihat-lihat sambil menunggu Tuan Tan.” Tutur sekertaris itu.
“Terimakasih..” Jawab Intan.
Tak lama kemudian Tuan Tan keluar dari ruangan, Ia langsung menghampiri Intan dan bertanya.
“Are you Intan?”
“Yes Sir.” Jawab Intan
“Let’s go, we going home now.” Tampa banyak bicara, Intan mengikuti Tuan Tan menuju car park.
Mobil sedan lancer {mitsubisi} sudah menunggunya, “Pok-pok!” suara Mobil bertanda kuncinya telah terbuka, lalu Tuan Tan membantu Intan memasukan koper miliknya ke dalam bagasi. Setelah itu Tuan Tan masuk kedalam mobil di ikuti Intan, ia duduk di jok belakang seperti yang Lam Day sarankan padanya.
Mobil melaju meninggalkan gedung yang menjulang tinggi, gagah perkasa lengkap dengan fasilitas kenyamanan itu. Di dalam Mobil Intan terdiam seribu bahasa, pandanganya keluar jendela, ia menikmati perjalanan itu seakan terkesima dengan keindahan Hong Kong, walau pun jam pulang kantor, namun lalulintas tidak macet. Tuan Tan mengendarai mobilnya terlihat asyik mendengarkan radio RTHK.
“Hem.., Intan tidak pulang ke Indonesia?” Tuan Tan membuka pembicaraan.
“Tidak.” Jawab Intan dengan gugup,
“Apakah kamu tidak kangen pada keluargamu?” Kembali ia bertanya.
“Mm, kangen sich, tapi saya bisa mengatasinya dengan cara menelfon mereka.”
“Berapa sodara kamu punya?”
“Saya tidak punya sodara, sejak kecil saya hidup bersama Ibu, Nenek dan Kakek di kampung. Sementara Ibu bekerja di Jakarta untuk menafkai saya, nenek, dan kakek. Jadi saya ingin bekerja untuk membantu mereka agar ibuku tidak usah lagi bekerja di Jakarta.”
“That’s good kamu gadis yang baik, saya pernah ke Indonesia bersama istriku. Aku kagum melihat orang Indonesia makan pakai jemari tangan.” Tutur Tuan Tan pada Intan seraya tertawa. Intan pun tersenyum ringan dan berkata
“Dalam ajaran agama Islam Nabi menyunahkan makan pakai jemari tangan. Jika kita selesai makan kita jilati jari-jari kita, itu akan terasa nikmat dan disitu banyak berkah dan barokahnya. Jadi bukan hanya orang Indonesia saja yang makanya pakai jemari tangan tetapi seluruh umat islam di dunia ini. For the exsapel orang miskin meminta-minta kita harus memberi di atas telapak tangan pengemis itu, dan kita tidak boleh memberinya di dalam kaleng, karena jika kita memberi di telapak tanganya maka Allah lah yang pertama kali menerimanya dan memberi pahala bagi pemberinya.”
“Benarkah dalam ajaran Islam sepeti itu?” sahut Tuan Tan penuh heran. Intan tersenyum mantap meyakinkanya.
Mobil memasuki kawasan rumah elit, di sana berjajar rumah besar-besar nan indah bertingkat tiga “ Pemukiman rumah di sini seperti pemukiman rumah elit di Jakarta” batin Intan.
Di depan pintu gerasi mobil berhenti Tuan Tan memencet tombol rimut kontrol untuk membuka pintu gerasi. Setelah pintu terbuka mobil masuk ke halaman rumah yang luas itu.
Tuan Tan turun dari mobil diikuti Intan seraya menarik koper bawanya. Ketika masuk kedalam rumah Tuan Tan dan Intan disambut oleh istri Tuan Tan, ia kerap di panggil Ibu Yeyen. ia menunjukan kamar Intan dan menyuruhnya menaruh barang bawaanya. Intan merasa terkesima dengan kamar yang di tunjukan Ibu Yeyen itu terlalu bagus buatnya. setelah itu Ibu Yeyen mengajak Intan makan malam bersama, tak terasa air mata Intan meleleh.
“Intan kenapa kamu menangis?” tanya Ibu Yeyen.
“Saya cuman terharu makan bersama kalian aku tidak pernah merasakan makan bersama kedua orang tuaku, aku merasa kalian berdua sosok kedua orang tuaku.”
“Sudah lah... anggap kami seperti orang tua kamu sendiri.” Ibu Yeni mengelus bahu Intan dengan tatapan penuh kasih sayang.
Seusai makan malam Intan membereskan dapur dan membereskan peralatan dapur.
Dari luar terdengar pintu gerbang terbuka, Suara mobil menderu memasuki halaman dan berhenti di halaman parkir mobil. Sosok pemuda menurunkan langkah kaki kanannya dari mobil, ia keluar dari mobil seraya mencangklong tas punggungnya. Ia melangkah tangan kananya seraya memainkan konci mobilnya. Di depan pintu ia menempelkan card untuk membuka pintu. Di ruang tamu ia mnghempaskan tas punggungnya kedalam pangkuan sofa. Lalu masuk ke ruang makan dan membuka kulkas mengambil soft drink, ia meminum dengan rasa lenga telah sirna sudah rasa dahaga yang ia tahan selama dalam perjalanan.
Ia menuju dapur melihat Intan dari belakang, Intan terlihat sibuk membenahi peralatan dapur di lamari.
“Mbak tolong siapkan makan malam buat saya” pintanya pada Intan, Intan pun segera menengok kearah suara, belum sempat ia menjawab permintaan pemuda itu ia terkejut melihat sosok pemuda yang ia sudah kenali semenjak kecil, dia adalah Charles kekasihnya saat ia masih duduk di banggku sekolah SMP. Intan hanya tak dapat mengenali suaranya karena sudah bertahun-tahun tak mendengar suaranya.
Bayangan slide show masalalunya kembali mncul diantara benak keduanya, Intan teringat sepulang sekolah bergandeng tangan denganya, dan terpergoki oleh Mamih orang tua Charles, dengan pandangan tidak suka.
Begitu pula dengan Charles, Ia pun sangat terkejut melihat Intan berada di rumah Tantenya, dalam benaknya tersimpan tanda tanya.
“Kamu Intan...?” Tanya Charles dengan pandangan terpana, Intan berusaha berpaling dari tatapan mata pemuda itu. Ia tanpa menjawab pertanyaanya, ia segera membuka kulkas dan mengambil makanan dan memanaskan ke dalam micrower.
“Saya siapkan makan malam buatmu” Jawab Intan tanpa menghiroukan pertanyaan Charles. Charles masih berdiri terpaku dengan pandangan penuh tanda tanya.
Makan malam telah Intan siapkan di atas meja, Intan meningalkan Charles di ruang makan tanpa sepatah kata.
“Intan..!!.” pangilanya mengiringi langkahnya. Langkah Intan pun terhenti dan melihat kearah Charles.
“Selesai makan ketuk pintu kamarku.” Balas Intan dengan nada tenang, lalu ia melanjutkan langkahnya menaiki anak tangga yang terbuat dari marmer.
Di dalam kamar Intan duduk di depan meja rias, ia melihat dirinya di depan cermin memory masa kecilnya mengambang di permukaan cermin.
Sejak kecil Intan tinggal bersama Ibunya yang bekerja di Jakarta sebagi pembantu rumah tangga. Intan dianggap anak oleh Nyoya Anita, yaitu majikan Sumi ibu dari Intan. Sementara Yonya Anita mempunyai seorang anak laki-laki ia bernama Charles, umur antara Intan dan Charles tidak berbeda jauh. Dalam kegiatan mereka pun selalu bersama. Mulai bermain, belajar dan berangkat kesekolah pun mereka selalu bersama hingga memasuki usia tanggung kelas 3 SMP, mereka sudah mengenal cinta satu sama lain, waktu itu mereka menjalin cinta tampa sepengetahuan orang tua mereka.
Ketika pulang sekolah, di depan rumah mereka bergandeng tangan, tampa mereka sadari sepasang mata memperhatikannya. Dan tiba-tiba Nyoya Anita muncul dari balik pintu. Melihat Intan dan Charles dengan pandangan tidak suka, secara sempotan pasangan si joli-joli cinta monyet itu melepaskan gandengan tanganya. Charles menghampiri Nyoya Anita dan menyapanya.
“Mamih...,” Namun Ia tidak menyahut, di susul sapaan Intan.
“Tante...,” Ia pun tak menjawab.
Intan dan Charles masuk kedalam kamar masing-masing, Charles di ikuti Mamih-nya.
Seperti biyasanya pulang sekolah mereka makan siang bersama, tetapi hari itu berubah menjadi sebuah kekecewaan bagi Intan. Begitu pula dengan Carles, ia ditahan di kamarnya. Intan sudah menunggu lama di ruang makan namun mereka tak kunjung keluar untuk makan bersama.
Selang sepuluh menit Nyoya Anita keluar dari kamar anaknya dan menuju ruang makan tampa memperhatikan Intan yang sedang duduk di depan meja makan, dan piring masih kosong.
“Sumi, hari ini anak saya makan di kamar, tolong kamu siapkan dan bawa kekamarnya.” Perintah Nyoya Anita.
Sumi merasa aneh dengan sikap majikanya itu yang sudah menganggap keluarganya sendiri. Sumi melihat kearah anaknya yang sedang tertunduk di depan meja makan ia paham apa yang terjadi. Tampa banyak bertanya Sumi segera menyiapkan makanan dan membawanya kedalam kamar anak majikanya.
Setelah Sumi mengantar makanan kedalam kamar Charles, ia segera melayani anaknya agar segera makan. Namun Intan tetap terdiam, wajahnya di liputi kekecewaan yang mendalam. Ibunya bertanya apa yang terjadi? namun ia hanya menggeleng kepala. Hingga Sumi dipanggil kembali oleh Nyonya Anita untuk membereskan makanan di kamar Charles, Iintan masih tetap tidak bergeming.
“Sumi, setelah selesai pekerjaanmu saya ingin bicara denganmu.” Pinta Nyonya Anita.
“Baik Nyoyah.” Jawab Sumi, Intan mendengar suara itu lalu ia berlari kekamarnya dan menutup pintu kamar ia menghempaskan tubuhnya di ranjangnya. isak tangis tak bersuara memenuhi rongga dadanya ia takut apa yang akan bakal terjadi, ia takut kehilangan Charles, ia takut segalanya. Hari itu pun menjadi sebuah yang menegangkan bagi Intan, ia mengurung diri di kamar tampa ia sentuh PR dari sekolah. Ia berusaha menguatkan diri dan menerima kenyataan yang ada. Dihapusnya airmatanya dam memulai mengerjakan PR namun ia tak bisa konsentresi.
Sore pun telah tiba, Intan pun tak melihat batang hidung Charles dan Tante Anita untuk makan malam bersama. Lagi-lagi Charles makan di kamarnya, Intan hanya makan sedikit untuk mengganjal perutnya yang kosong karena ia tak makan siang. setelah itu Intam membantu ibunya mencuci piring di dapur, lalu ia masuk dalam kamarnya dalam benaknya diliputi dengan tanda tanya, “ Charles di kurung di kamarnya, apa yang bakal terjadi esok hari?” Batin Intan
Malam itu pun menjadi malam kegelisahan yang tak berujung, ia melihat ibunya tengah melipat pakaian dan mengemasnya kedalam koper
“Bu, kenapa pakean Intan di masukan kedalam koper semua?” Tanya Intan, Sumi hanya terdiam menahan kesal pada anaknya
“Sebenarnya tadi siang Tante Anita ngomong apa sama Ibu?” Intan menghentikan tangan Ibunya yang tengah sibuk membereskan pakainya. Sumi memandang wajah anaknya dengan wajah berkaca-kaca, lalu Intan memeluk ibu tercinta penuh dengan kasih sayang.
“Intan, kamu sudah dewasa, kamu sudah tau cinta. Ibu tau kamu menjalin cinta moyet dengan Charles, kalau hubunganmu berlanjut apa kata orang, kamu haya anak seorang pembantu, Charles anak majikan. Apa kata keluarga besar Nyoya Anita tentang anaknya. Intan, Nyonya Anita sudah begitu baik kepada kita ia telah memberi kita kehidupan dam menyekolahkanmu seperti anaknya sendiri. Ia tak mau jika hubunganmu dengan anaknya berlanjut. Ia meminta agar kamu sekolah di kampung dan tinggal bersama Kakek, Nenekmu. Besok Nyoya Anita yang akan mengurus surat di sekolahmu untuk pindah sekolah, dan besok Ibu yang akan mengantarmu pulang kampung.” Mata Intan terbelalak mendengar ibunya bicara, ia mundur dari hadapan ibunya seraya menggelengkan kepala.
“Tidak Bu, Intan ingin selalu bersama Ibu.”
“Jika Intan sayang Ibu dengarkanlah Ibumu ini bicara dan kerjakan apa yang Ibu perintah” Air mata Intan menetes deras dan memeluk Ibu tercinta, ia menganggukkan kepala, bertanda setuju akan melakukan apa saja untuk membahagiakan Ibu tercintanya. Sejak itulah intan tinggal di kampung bersama kakek dan neneknya. Meneruskan sekolah SMA dan belajar mengaji. “Tok..., tok... tok...” terdengar suara pintu kamarnya ada yang mengetuk. Cermin dihadapannya menengglamkan slide show masa lalunya, Intam mendapati dirinya di depan cermin wajahnya beruraian air mata, ia segera menghapusnya. Intan membuka pintu kamar sosok pemuda berdiri tegap dengan tangan terselip di saku celana jins, ia tersenyum pada Intan dan bertanya.
“Kamu menangis?” Intan menggelengkan kepala dan berlalu dari hadapan Charles, lalu ia melangkah ke ruang makan untuk membereskan meja makan. Dengan cepat Intan kembali kekamarnya. Saaat ini Intan benar-benar merasa bahagia dan bercampur sedih, ia bahagia do’a yang ia panjatkan agar bisa bertemu dengan Charles gini telah terjawab, tetapi ia merasa sedih karena hubungan cinta moyetnya tidak direstui orang tua Charles. Intan sesekali menarik nafas panjang untuk menenangkan dirinya, nanun itu tidak cukup lalu ia mengambil air wudhu dam melaksanakan shalat sunah agar menenangkan jiwanya dan mengadukan segala apa yang ia rasakan kepada Allah SWT.
Setelah sahlat, Intan membaringkan tubuhnya di ranjang ia pejamkan matanya namun ia tidak tidur. Ia pun beranjak dari ranjangnya dan melangkah kearah jendela kaca yang lebar dan ia membuka korden. Terlihat sang rembulan menyinari malam dengan berseri-seri, Intan memandang sang rembulan penuh dengan taksim. Ia melihat keteras kamar Charles ia melihat sosok pemuda yang sedang duduk di kursi santai sambil menikmati indanya sang rembulan.
Charles melihat kearah Intan, mereka bertemu pandangan dan tersenyum. Dengan bahasa isarat tangan Charles meminta nomor telfoon gadis cantik pujaan yang tak pernah ia lupakan seumur hidupnya. Intan segera menulis no Hpnya diatas sobekan kertas dan melemparnya ke arah Charles. Charles membuka gulungan kertas kecil itu dan mencatat nomor tlepon di Hpnya ia segera menelpon Intan.
“Kamu belum tidur?” Tanya Charles.
“Aku tak bisa tidur.” Jawab Intan
“Intan...” Pangilan Carles sangat merdu mengusik hulu hati.
“Iya...” Jawab Intan.
“Aku kangen padamu, Aku ingin kita seperti dulu lagi, sewaktu ita masih kecil, kita menjalin cinta monyet dan aku ingin kita menjalin cinta kingkong. Kita akan menjadi kingkong dan kita akan punya monyet-monyet yang lucu-lucu.”
Intan hanya bisa tersnyum mendengarnya.
“Tapi bagemana dengan keluargamu?”
“Sekarang kita disini dan kita sudah dewasa, bukan anak kecil lagi. kita tahu mana yang benar dan mana yang salah, percayalah semuanya akan baik-baik saja.”