Rasa yang Berbeda
By:Pertiwi Irasaputri
Om
Felik adalah adik dari ibukku, ia menyayangiku seperti anaknya sendiri semenjak
ayahku meninggal delapan belas tahun yang lalu, akibat kecelakaan tunggal yang
merenggut nyawanya. Walau Om mempunyai dua anak gadis dan satu anak laki laki,
kasih sayangnya tak pernah membedakan antara anak kandung dan keponakan.
Aku
juga dapat merasakan dia adalah sosok ayah yang memberikanku kasih sayang dan
perhatian penuh hingga dia membela aku mati matian dan memboyongku ke Hong Kong
tinggal bersama istri dan anak- anaknya di rumah megah ini. Sebenarnya aku
tidak suka dengan sikap istrinya dan kedua putrinya yang berpura pura baik
kepadaku di depan Om Felik saja. Namun aku
tetap bersabar demi Ibuku dan Om Felik agar aku tetap menjadi apa yang mereka
inginkan.
Aku
bangga kepada Om Felik, dia orang yang hebat, dia seorang dokter sepesialis
ahli bedah. Ibuku ingin aku menjadi dokter seperti Om Felik. Tetapi aku tidak
mempunyai bakat menjadi seorang dokter. Demi ibu yang aku cintai, aku harus mengikuti
jejak Om Felik mejadi seorang dokter. Dan sebenarnya aku lebih suka menjadi
main piano ketimbang menjadi seorang dokter.
Pepatah
bilang, buah jatuh tidak jauh dari pohonya. Ibuku seorang pengusaha batik di
Yogya, dan almarhum ayahku seorang arsitek. Layaknya aku menjadi pengusaha dan
arsitek seperti mereka, tapi ibu menginginkan aku mengikuti jejak Om ku
menjadi seorang dokter. Aku termasuk cewek paling beruntung banget, dapat beasiswa
melanjutkan kuliah di Hong Kong, di University of Technology and
Science, fakultas kedokteran.
Malam ini seusai makan malam Om Felik mengumpulkan
kami di ruang tengah dan membicarakan tentang undangan rekan kerjanya yang mengundang
sekeluarga untuk menghadiri acara ulang tahun anaknya, yang kebetulan juga baru
menyelesaikan kuliahnya di Korea.
Sepertinya Shela dan Shanty seneng banget mendengar
berita itu, aku sempat mengelak untuk tidak ikut menghadiri acara itu, dengan
alas an masih ada tugas kuliah. Namun Om Felik mengatakan bahwa aku adalah tamu
istimewa yang akan memainkan piano buat anak rekan kerjanya itu. Aku sangat
terkejut, melihat tatapan tajam dari tante Sherly, Shela dan Shanty, namun
Sunny anak sulung Om Felik haya terdiam dan bersikap santai.
Sabtu
sore menjelang hari H, tante dan kedua putrinya sibuk memilh baju untuk pesta.
Ketika Om Felik tidak ada di rumah, dengan sikap yang tidak seperti biasanya
lemah lembut dan ramah tamah dia menyuruhku masuk ke kamar putrinya. Kamar megah yang hanya bisa dimasuki orang- orang
tertentu saja.
Setelah di dalam kamar, tante langsung mendorong aku
ke kursi, dan aku terjatuh di kursi itu dengan cepat Santy dan Shela mengikat
kaki dan tangankuku dan membungkam
mulutku agar aku tak bersuara. Aku memberontak penuh kepanikan, aku tak
mengerti apa yang mereka inginkan dariku.
“Dengar anak manis, sebaiknya kamu malam ini menjadi
penghuni kamar ini sampai kita pulang pesta nanti” Tegas Tante dengan nada
sinis tepat di depan mukaku seraya menjambak rambut panjangkuku yang terurai.
“Aku tak ingin kamu malam ini ikut hadir di acara
keluarga shabat papah, aku tak mau kamu merusak acaraku untuk mendekati
pangeran Leo” Hardik Shanty, sambil berjalan melenggok di depanku dan duduk di
ranjangnya dengan pandangan penuh rasa benci, kembali ia menatapku sinis penuh
dengan senyum kemenangan.
“Ka Ce, aku yakin malam ini rencanamu pasti akan
berjalan dengan lancar, dan Ka Ceh bebas menemani pangeran Leo tanpa ada yang
menggangumu.” Tegas Shela meyekinkan kakaknya.
Aku pasrah dengan
keadaanku yang tersekap dikamar megah ini. tinggal aku sendiri di rumah ini, mereka
semua telah pergi kepesta. Hingga tiba-tiba aku mendengar suara Sunny memanggil
manggil namaku, aku berusaha menjawab panggilnnya tapi sia- sia karena mulutku
yang terisolasi dengan tape, aku berusaha menghentak-hentakkan kakiku berharap
Sunny mengetahui keberadaaanku di kamar ini. Rasanya usahaku kali ini pun sia sia.
“Ya Allah, engkau sebaik baik penolong. Maka
tolonglah hamba dari jeratan ini.” Suara Sunny masih memangil mangilku. Tak
lama kemudian Sunny dapat membuka pintu dengan kunci yang dia dapatkan.
“Oh my God!” Sunny terbelalak mendapatiku yang tak
bias berkutik, ia segera melepaskan isolatip di mulutku dan melepaskan ikatan
di tangan dan kakiku.
“Sanny bagaimana kamu tahu aku ada di kamar ini?”
Tanyaku.
“Aku tanya pembantu, katanya Mamih ngajak Piu Ceh
masuk masuk kekamar ini.” Jawabnya tergesa. Dan ia menyuruhku segera
ganti pakaian untuk segera pergi ke acara pesta itu.
“Sunny dengarkan aku, aku tak mau pergi ke acara
itu. Aku takut nanti tante marah padaku”
“Piu Ceh, ini permintaan Papah. Aku harap Piu Ceh memikirkan
itu.” Tegas Sunny padaku, aku kembali berpikir Aku tak mau mengecewakan Om, karena ulahku yang mementingkan diri sendiri,
lalu aku bergegas berangkat bersama Sunny anak Om yang berbaik hati padaku.
Mobil melesat membelah jalan rasa melewati jembatan
gantung yang menuju Yuen Long. Tiba di tempat, suasana sudah cukup ramai, namun acara belum
dimulai. Dengan kedatanganku, MC mulai membuka acara, dan untuk pembukaan acara
itu MC menyuruhku memain kan piano. Aku sempat grogi dibuatnya, semua mata tamu
undangam tertuju ke arahku. Aku berusaha tampil rilek menghadapi grogi yang
mengoyahkan mentalku. Ketika duduk di depan piano, aku sempat termenung, musik apa yang hendak aku mainkan.
Denting piano mengalun, jari jariku menari diatas
key bord piano begitu ringan, lagu everytime yang menjadi lagu kesukaanku,
kulantunkan dengan indah sesuwai suaranya Britny Spears.
“Notice me, take my hand why are we strangers when
our love is strong why carry on without me. Everytime I try to fly, I fall
without my wing, I feel so small I guess I need you, baby and everytime I see you in my dreame I see your face, it’s
haungting me I see your face, I guess I need you, baby….I make belive that you
are here it’s the only way I see you clear what have done you seem to move on
easy ”
Semua tamu undangan seakan menjadi patung mendengar
dan melihatku memainkan piano, hanya satu pemuda menyruak dari sekian banyak
orang yang terpaku. Ia menghampiriku yang sedang asik memainkan piano, seulas
senyum yang dapat aku berikan.
Setelah usai aku mempermainkan piano, tepuk
tangan meriah mengiringi saat aku
berdiri dan membungkukan diri sebagai tanda penghormatan. Om Felik menghampir
pemuda yang ada di sebelahku, dengan sempotan aku memang tidak mengenal siapa
dia.
“Perkenalkan dia keponakan Om, dari Indonesia” Om
memperkenakaku ke pemuda itu
“Tracy, dia Leo. Anak dari Dokter Lau.” Om
Felik seraya memperkenalkan pasangan
suami istri yang begitu berwibawah, mereka tersenyum padaku dan aku mengulurkan
tangan tuk berjabat tangan.
Acara pesta berlangsung dengan potong kue ulang
tahun, aku melihat Shanty dan Tante melirik tajam padaku, aku berusaha tenang,
aku yakin mereka tidak dapat berbuat macam-macam padaku pada suasana seperti
ini.
Leo, pemuda yang baru aku kenal dia terlihat sok
akrab denganku, dia mengagumi permainan piano yang aku mainkan tadi. Kami pun
terlibat pembincangan yang mengundang tawa antara aku dan dia. Tiba tiba saja
Shanty datang menghamiri kami dan menyiram minuman wine itu di kepalaku. Aku
tersentak kaget, dengan cepat Leo mencekal lengan Shanty yang berusaha berlalu
dari hadapan kami, suasana menjadi keruh saat Leo menyuruh Shanty meminta maaf
padaku. Namun suara lantang Shanty
menjadi perhatian semua tamu.
“Kamu, cewek tidak tau diri! Kamu telah merebut
harapanku.” ucapan itu meluncur begitu saja dari mulut Shanti yang beraroma
alcohol membuatnya hilang control. Semua orang berkrumun aku berlari
meninggalkan kerumunan orang-orang yang menanyakan apa yang terjadi Sepertinya
Leo mengejarku dan aku segera bersembunyi di balik pohon.
“Tracy, Tracy! kamu di mana?” Suara Leo mencari
cariku. Hingga ia binggung mencariku lalu ia segera meningalkan tempat itu. Dan
aku keluar dari tempat persembunyianku, aku baru sadar sapu tanganku tidak ada
ketika aku ingin membersihkan wajahku.
Kutemui pagi yang indah sinarnya berseri seri, aku
berkemas ke Kampus. Di halte bus aku menanti Bus nomor
91 jurusan Doman Hill, belum sempat bus datang sebuah sedan Mercedes
silver menghampiriku, sosok pemuda keluar dari dalam mobil dan membukakan pintu
untu mobil menyuruh ku masuk. Aku tak dapat menolaknya dan segera masuk ke dalam
mobil. Mobil meluncur membelah jalan
raya yang kanan kiri masih terlihat hijau oleh pepohonan yang hidup diantara
pegunungan yang sedang menunjukan musim semi.
“Hem,” dehemku
memecah suasana, Leo tersenyum manis kearahku.
“O iya, semalam sapu tanganmu terjatuh di tikungan
jalan ketika aku mengejarmu, ini aku kembalikan.” Aku terbelalak melihatnya,
seraya mengambil sapu tangan yang ia ulurkan. Lirikan matanya bak sinar mentari
yang menyinari pagi ini.
“Tracy, amm…” suara Leo tertahan sejenak.
“Iya,” aku tersenyum melihat kearahnya sambil
menunggu ucapanya yang tertahan.
“A,,, jam berapa selesai kuliah?” Lanjutnya, aku
sambil melihat arloji di pergelangan tanganku dan memastikan kapan aku usai
kuliah.
“Jam empat.” Jawabku.
“Aku jemput kamu yah?” pinta Leo
Aku keluar dari mobilnya dan menuju kampus, senyum
bahagia menghiasi wajahku. Walau aku baru beberapa kali melihatnya, aku
mempunyai rasa yang berbeda saat bersamanya, hatiku terasa berdesir desir dan
ucapanya indah tuk dikenang.
Seusai kuliah dia sudah menungguku di mobilnya, ia
mengajakku jalan jalan dan makan malam bersamanya. Setelah makan malam ia
mengantarku pulang, setiba di depan rumah Tante dan Shanty hanya dapat
terbengong- bengong melihatku dan Pangeran Leo berbincang di ujung perpisahan.
Di depan mereka aku melangkah masuk kedalam rumah dengan lenggokan yang aku
sengaja dengan wajah penuh kemenangan.