Rabu, 13 November 2013

Rasa Yang Berbeda


Rasa yang Berbeda

By:Pertiwi Irasaputri

Om Felik adalah adik dari ibukku, ia menyayangiku seperti anaknya sendiri semenjak ayahku meninggal delapan belas tahun yang lalu, akibat kecelakaan tunggal yang merenggut nyawanya. Walau Om mempunyai dua anak gadis dan satu anak laki laki, kasih sayangnya tak pernah membedakan antara anak kandung dan keponakan.

Aku juga dapat merasakan dia adalah sosok ayah yang memberikanku kasih sayang dan perhatian penuh hingga dia membela aku mati matian dan memboyongku ke Hong Kong tinggal bersama istri dan anak- anaknya di rumah megah ini. Sebenarnya aku tidak suka dengan sikap istrinya dan kedua putrinya yang berpura pura baik kepadaku di depan Om Felik saja. Namun aku tetap bersabar demi Ibuku dan Om Felik agar aku tetap menjadi apa yang mereka inginkan.

Aku bangga kepada Om Felik, dia orang yang hebat, dia seorang dokter sepesialis ahli bedah. Ibuku ingin aku menjadi dokter seperti Om Felik. Tetapi aku tidak mempunyai bakat menjadi seorang dokter. Demi ibu yang aku cintai, aku harus mengikuti jejak Om Felik mejadi seorang dokter. Dan sebenarnya aku lebih suka menjadi main piano ketimbang menjadi seorang dokter.

Pepatah bilang, buah jatuh tidak jauh dari pohonya. Ibuku seorang pengusaha batik di Yogya, dan  almarhum  ayahku  seorang  arsitek. Layaknya aku menjadi pengusaha dan arsitek seperti  mereka, tapi ibu  menginginkan aku mengikuti jejak Om ku menjadi seorang dokter. Aku termasuk cewek paling beruntung banget, dapat beasiswa melanjutkan kuliah di Hong Kong, di University of Technology and Science, fakultas kedokteran.

Malam ini seusai makan malam Om Felik mengumpulkan kami di ruang tengah dan membicarakan tentang undangan rekan kerjanya yang mengundang sekeluarga untuk menghadiri acara ulang tahun anaknya, yang kebetulan juga baru menyelesaikan kuliahnya di Korea.

Sepertinya Shela dan Shanty seneng banget mendengar berita itu, aku sempat mengelak untuk tidak ikut menghadiri acara itu, dengan alas an masih ada tugas kuliah. Namun Om Felik mengatakan bahwa aku adalah tamu istimewa yang akan memainkan piano buat anak rekan kerjanya itu. Aku sangat terkejut, melihat tatapan tajam dari tante Sherly, Shela dan Shanty, namun Sunny anak sulung Om Felik haya terdiam dan bersikap santai.

Sabtu sore menjelang hari H, tante dan kedua putrinya sibuk memilh baju untuk pesta. Ketika Om Felik tidak ada di rumah, dengan sikap yang tidak seperti biasanya lemah lembut dan ramah tamah dia menyuruhku masuk  ke kamar  putrinya. Kamar  megah yang hanya bisa dimasuki orang- orang tertentu saja.

Setelah di dalam kamar, tante langsung mendorong aku ke kursi, dan aku terjatuh di kursi itu dengan cepat Santy dan Shela mengikat kaki dan tangankuku  dan membungkam mulutku agar aku tak bersuara. Aku memberontak penuh kepanikan, aku tak mengerti apa yang mereka inginkan dariku.

“Dengar anak manis, sebaiknya kamu malam ini menjadi penghuni kamar ini sampai kita pulang pesta nanti” Tegas Tante dengan nada sinis tepat di depan mukaku seraya menjambak rambut panjangkuku yang terurai.

“Aku tak ingin kamu malam ini ikut hadir di acara keluarga shabat papah, aku tak mau kamu merusak acaraku untuk mendekati pangeran Leo” Hardik Shanty, sambil berjalan melenggok di depanku dan duduk di ranjangnya dengan pandangan penuh rasa benci, kembali ia menatapku sinis penuh dengan senyum kemenangan.

“Ka Ce, aku yakin malam ini rencanamu pasti akan berjalan dengan lancar, dan Ka Ceh bebas menemani pangeran Leo tanpa ada yang menggangumu.” Tegas Shela meyekinkan kakaknya.

Aku pasrah dengan keadaanku yang tersekap dikamar megah ini. tinggal aku sendiri di rumah ini, mereka semua telah pergi kepesta. Hingga tiba-tiba aku mendengar suara Sunny memanggil manggil namaku, aku berusaha menjawab panggilnnya tapi sia- sia karena mulutku yang terisolasi dengan tape, aku berusaha menghentak-hentakkan kakiku berharap Sunny mengetahui keberadaaanku di kamar ini. Rasanya usahaku kali ini pun sia sia.

“Ya Allah, engkau sebaik baik penolong. Maka tolonglah hamba dari jeratan ini.” Suara Sunny masih memangil mangilku. Tak lama kemudian Sunny dapat membuka pintu dengan kunci yang dia dapatkan.

“Oh my God!” Sunny terbelalak mendapatiku yang tak bias berkutik, ia segera melepaskan isolatip di mulutku dan melepaskan ikatan di tangan dan kakiku.

“Sanny bagaimana kamu tahu aku ada di kamar ini?” Tanyaku.

“Aku tanya pembantu, katanya Mamih ngajak  Piu Ceh  masuk masuk kekamar ini.” Jawabnya tergesa. Dan ia menyuruhku segera ganti pakaian untuk segera pergi ke acara pesta itu.

“Sunny dengarkan aku, aku tak mau pergi ke acara itu. Aku takut nanti tante marah padaku”

“Piu Ceh, ini permintaan Papah. Aku harap Piu Ceh memikirkan itu.” Tegas Sunny padaku, aku kembali berpikir Aku tak mau mengecewakan Om,  karena ulahku yang mementingkan diri sendiri, lalu aku bergegas berangkat bersama Sunny anak Om yang berbaik hati padaku.

Mobil melesat membelah jalan rasa melewati jembatan gantung yang menuju Yuen Long. Tiba di tempat,  suasana sudah cukup ramai, namun acara belum dimulai. Dengan kedatanganku, MC mulai membuka acara, dan untuk pembukaan acara itu MC menyuruhku memain kan piano. Aku sempat grogi dibuatnya, semua mata tamu undangam tertuju ke arahku. Aku berusaha tampil rilek menghadapi grogi yang mengoyahkan mentalku. Ketika duduk di depan piano, aku sempat termenung,  musik apa yang hendak aku mainkan.

Denting piano mengalun, jari jariku menari diatas key bord piano begitu ringan, lagu everytime yang menjadi lagu kesukaanku, kulantunkan dengan indah sesuwai suaranya Britny Spears.

“Notice me, take my hand why are we strangers when our love is strong why carry on without me. Everytime I try to fly, I fall without my wing, I feel so small I guess I need you, baby and everytime  I see you in my dreame I see your face, it’s haungting me I see your face, I guess I need you, baby….I make belive that you are here it’s the only way I see you clear what have done you seem to move on easy ”

Semua tamu undangan seakan menjadi patung mendengar dan melihatku memainkan piano, hanya satu pemuda menyruak dari sekian banyak orang yang terpaku. Ia menghampiriku yang sedang asik memainkan piano, seulas senyum yang dapat aku berikan.

Setelah usai aku mempermainkan piano, tepuk tangan  meriah mengiringi saat aku berdiri dan membungkukan diri sebagai tanda penghormatan. Om Felik menghampir pemuda yang ada di sebelahku, dengan sempotan aku memang tidak mengenal siapa dia.

“Perkenalkan dia keponakan Om, dari Indonesia” Om memperkenakaku ke pemuda itu

“Tracy, dia Leo. Anak dari Dokter Lau.” Om Felik  seraya memperkenalkan pasangan suami istri yang begitu berwibawah, mereka tersenyum padaku dan aku mengulurkan tangan tuk berjabat tangan.

Acara pesta berlangsung dengan potong kue ulang tahun, aku melihat Shanty dan Tante melirik tajam padaku, aku berusaha tenang, aku yakin mereka tidak dapat berbuat macam-macam padaku pada suasana seperti ini.

Leo, pemuda yang baru aku kenal dia terlihat sok akrab denganku, dia mengagumi permainan piano yang aku mainkan tadi. Kami pun terlibat pembincangan yang mengundang tawa antara aku dan dia. Tiba tiba saja Shanty datang menghamiri kami dan menyiram minuman wine itu di kepalaku. Aku tersentak kaget, dengan cepat Leo mencekal lengan Shanty yang berusaha berlalu dari hadapan kami, suasana menjadi keruh saat Leo menyuruh Shanty meminta maaf padaku. Namun  suara lantang Shanty menjadi perhatian semua tamu.

“Kamu, cewek tidak tau diri! Kamu telah merebut harapanku.” ucapan itu meluncur begitu saja dari mulut Shanti yang beraroma alcohol membuatnya hilang control. Semua orang berkrumun aku berlari meninggalkan kerumunan orang-orang yang menanyakan apa yang terjadi Sepertinya Leo mengejarku dan aku segera bersembunyi di balik pohon.

“Tracy, Tracy! kamu di mana?” Suara Leo mencari cariku. Hingga ia binggung mencariku lalu ia segera meningalkan tempat itu. Dan aku keluar dari tempat persembunyianku, aku baru sadar sapu tanganku tidak ada ketika aku ingin membersihkan wajahku.

Kutemui pagi yang indah sinarnya berseri seri, aku berkemas ke Kampus. Di halte bus aku menanti  Bus nomor  91 jurusan Doman Hill, belum sempat bus datang sebuah sedan Mercedes silver menghampiriku, sosok pemuda keluar dari dalam mobil dan membukakan pintu untu mobil menyuruh ku masuk. Aku tak dapat menolaknya dan segera masuk ke dalam  mobil. Mobil meluncur membelah jalan raya yang kanan kiri masih terlihat hijau oleh pepohonan yang hidup diantara pegunungan yang sedang menunjukan musim semi.

“Hem,” dehemku  memecah suasana, Leo tersenyum manis kearahku.

“O iya, semalam sapu tanganmu terjatuh di tikungan jalan ketika aku mengejarmu, ini aku kembalikan.” Aku terbelalak melihatnya, seraya mengambil sapu tangan yang ia ulurkan. Lirikan matanya bak sinar mentari yang menyinari pagi ini.

“Tracy, amm…” suara Leo tertahan sejenak.

“Iya,” aku tersenyum melihat kearahnya sambil menunggu ucapanya yang tertahan.

“A,,, jam berapa selesai kuliah?” Lanjutnya, aku sambil melihat arloji di pergelangan tanganku dan memastikan kapan aku usai kuliah.

“Jam empat.” Jawabku.

“Aku jemput kamu yah?” pinta Leo

Aku keluar dari mobilnya dan menuju kampus, senyum bahagia menghiasi wajahku. Walau aku baru beberapa kali melihatnya, aku mempunyai rasa yang berbeda saat bersamanya, hatiku terasa berdesir desir dan ucapanya indah tuk dikenang.

Seusai kuliah dia sudah menungguku di mobilnya, ia mengajakku jalan jalan dan makan malam bersamanya. Setelah makan malam ia mengantarku pulang, setiba di depan rumah Tante dan Shanty hanya dapat terbengong- bengong melihatku dan Pangeran Leo berbincang di ujung perpisahan. Di depan mereka aku melangkah masuk kedalam rumah dengan lenggokan yang aku sengaja dengan wajah penuh kemenangan.