telah terbit di tabloid Apakabarplus Hong Kong
Awan mendung masih berglanyut menghiasi langit sejak tadi pagi. Namun, tak ada tanda- tanda akan turun hujan. Suasana di kampung terlihat sepi, gerobak es campur yang aku dorong keliling kampung masih terasa, berat pertanda es campur yang aku jajankan belum laku banyak, hanya beberapa orang saja yang tadi membeli. Alham dulilah dengan nikmat yang ada.
“Es campur! Es campur…!” teriaku menjajankan es campur.
Kakiku terus melangkah, suasana di kampung ini semakin sepi, hanya beberapa penghuni saja yang sedang duduk-duduk di serambi rumahnya. Sejenak aku duduk beristirahat di pinggir jalan raya yang tak begitu ramai oleh kendaraan. Pandanganku mengamati lingkungan sekitar, aku melihat seorang ibu berjalan dari arah berlawanan. Aku nekat untuk mengejarnya dan meninggalkan gerobak es campur begitu saja. Nafasku terengah-engah mengejarnya.
“Ibu! Tunggu Ibu!” teriakku pada sosok Ibu yang mempunyai pastur tubuh seperti ibuku, ia melihat ke araku, dengan senyum khasnya.
“Ada apa anak manis?” jawab ibu itu.
Aku menghela nafas kesal, Ternyata dia bukan ibuku yang meninggalkan rumah beberapa bulan yang lalu.
“Maaf Bu, saya salah melihat orang. Saya kira Ibu ini adalah ibu saya.” Jawabku, ia pun kembali meneruskan langkahnya.Aku kembali menghembuskan nafas kesal, ke manakah ibuku pergi? Mengapa ibu setega ini meninggalkan kami ketika bapak sedang sakit struk dan tak berdaya. Aku yang sedang duduk di banggku kelas dua SMU, gini harus berhenti sekolah. Dan aku harus menggantikan bapak yang berprofesi menjadi pedagang es campur keliling kampung. Bebanku begitu berat sebagai anak gadis kampung yang lugu harus bisa menjadi tulang punggung keluarga, menjaga bapak yang sedang sakit, sementara kakak perempuanku cacat mental sejak kecil, ia harus dijaga secara ekstra kalau aku biarkan dia berkeliaran, aku takut menjadi bahan pelecehan seksual oleh orang-orang kampung yang tak punya moral.
Aku kembali mendorong grobak es campur menyusuri jalan, aku melihat kerumunan orang orang di sebuah lapangan kelurahan. Aku pun penasaran ada apakah di sana, kutinggalkan gerobak es campur tak begitu jauh dari kerumunan itu. Aku menyeruak ke depan, melihat acara yang ada, ternyata orang orang itu sedang mendaftar lomba memakan semangka. Dengan suasana hatiku yang sedang kesal oleh keadaan, aku berusaha menghibur diri mendaftar mengikuti acara lomba itu. Aku tersenyum seakan akan aku ini adalah seorang jagoan yang siap mengalahkan musuh-musuhnya. Kusisihkan lengan bajuku ke atas dan kuikat ujung jilbabku ke belakang agar aku lebih leluasa memakan semangka. Kupandangi sebutir semangka yang di hadapanku dan beberapa perserta yang akan mengikuti lomba denganku. Penonton pun bertanya-tanya bagai mana bisa kami yang masih terlihat anak anak memakan satu butir semangka sebesar bola foli. Suara semprit bertanda perlombaan telah dimulai, dengan gigih aku menghantamkan telapak tanganku dengan kekuatan tenaga dalam, semangka itu pun terpecah belah. Dengan lahap aku menikmati semangka itu dengan cepat, tidak sampai satu menit semangka itu aku lahap habis. Kuangkat kedua tanganku tingi tinggi, seorang dari panitia itu membawaku ke atas panggung dan memberiku berupa penghargaan piagam serta hadiah uang tunai tiga juta rupiah. Tepuk tangan dari para penonton mengema meramaikan suasana siang itu, aku bersujud sukur kepada Mu, ya Allah. Aku turun dari panggung langsung menghampiri grobak es campur, dengan rasa bahagia dan hati penuh sukur, aku kembali ke rumah memberi kabar gembira kepada bapak dan kakakku. Dalam perjalanan pulang ke rumah aku merasa aneh, sepertinya ada seseorang pemuda yang mengikutiku.
Setiba di halaman rumah, aku pun masih merasa seorang pemuda tinggi putih dengan rambut ikal berwajah manis itu uterus mengikutiku. Aku bergegas masuk kedalam rumah dan mencium tangan kanan bapak yang terbaring tak bernyali di ranjangnya. “Kak, bapak sudah makan siang belum?” tanyaku kepada kak Atun yang sedang asik bermain boneka kesayanganya. “Uuudah, Ut.” Jawab kak Atun yang tak sempurna berbicara. “Kaka udah makan belum?” Tanyaku lagi, ia hanya mengangukan kepalanya, bertanda dia sudah makan. Aku pun mengeluarkan kabar gembira itu dan menunjukan kepada kakak dan bapak, namun mereka seperti tidak tahu aku sedang bahagia mendapatkan hadiah sebesar tiga juta bukan uang yang sedikit bagiku, aku sangat bahagia mendapatkanya. Dan uang ini bisa buat berobat bapak dan buat buka kios di pasar agar aku tidak tercape mendorong gerobak es campur setiap hari.
Kebahagiaan ini berubah menjadi air mata, melihat bapak yang sudah tak bisa bicara dan hanya matanya saja yang kadang terbuka dan kadang terutup. “Pak, mengapa nasib kita malang sepert ini, bapak sebagai kepala rumah tangga harus sakit seperti ini, dan ibu pergi entah kemana. Kenapa Kak Atun terlahir sebagai gadis cacat mental? Kehidupan ini sangat pedih Pak” air mataku berurai berjatuhan di pipi. Kak Atun mengusap usap bahuku yang sedang menangis di samping ranjang bapak. Aku melihat Kak Atun yang berdiri di belakangku dan aku memeluknya penuh dengan kasih saying, meskipun dia tidak bisa menangis aku yankin dia merasakan apa yang aku rasakan.
Angin malam berdesir lembut memasuki ruang kamarku, mataku sulit terpejam berbagi pikiran bergelanyut di benakku. Kulihat kakaku yang tidur di ranjangnya terlentang mengeluarkan suara dengkuran yang membuatku makin sulit memejamkan mata. Aku menghampirinya dan membetulkan selimutnya yang terpancal oleh jarahan kakinya. Aku pun melihat bapak belum memejamkan mata, kumenghampirinya.
“Pak, kok belum tidur?” tanyaku, ia hanya mengedip ngedipkan matanya yang kosong.
“Apakah Bapak mau buang air?” tanyaku lagi. Semakin pilu hatiku melihat keadaan bapak, ibu seandainya engkau seorang istri yang baik dan ibu yang baik engkau tak akan membiarkan kami menderita seperti ini. Kami butuh peran ibu di rumah ini, ibu. Air mataku terus berurai dan terus berurai, rasa sesak di dada memadati rongga, hingga aku terasa susah untuk bernafas. Aku melangkah ke kamar mandi mengambil air wuhdu, Kubasuh wajahku yang lebam karena menangis. Aku bersujud di sepertiga malam, dan lagi lagi aku tumpahkan air mata ini. “Ya Allah mengapa Engkau beri cobaan seberat ini kepada hamba disaat hamba masih memerlukan bimbingan dari kedua orang tuaku. Ya Allah hamba tidak kuat menghadapi semua ini tanpa pertolonganMu, Ya Allah apakah ini bentuk kasih sayangMu agar aku menjadi wanita muslimah yang baik?.”
Pagi masih terlalu suci, seperti biasanya aku mebantu bapak memapahnya ke kamar mandi buang air dan mengambil air wudhu untuknya, memask buat sarapan dan makan siang nanti, aktifitas ini aku lakukan setiap pagi. Setelah mentari meninggi aku mulai menjajankan es campur, tetapi hari ini aku ingin mencari tempat kios untuk membuka warung es campur, dari hasil uang kemaren memenangkan lomba makan semangka. Bertanya kesana kemari kepada pedagang yang ada di pasar Sidakaya, namun tidak ada orang yang mau menjual kiosnya atau mengontrakan kiosnya.
Hem..! aku merasa ada sesuatu yang aneh seperti hari kemaren, ada seseorang yang membuntutiku dan orang itu sama, orang yang kemaren. Aku bersembunyi di balik tembok gedung, kuintip dia, sepertinya aku tidak mengenali dia sebelumya. Sepertinya dia kehilangan jejakku, tetapi aku penasaran siapa dia dan maunya dia apa, sehingga ingin selalu membuntutiku?. Aku mengambil tak tik untuk menyergapnya, begitu dia lewat di depan persembunyianku dengan lincah, ku srimpung kakinya dengan kakiku, dia terjatuh dan kaca mata berbingkai hitam itu pun mblosoh hingga ke bawah hidungnya. Dengan cepat ku cekal tanganya ke belakang dan kududuki punggungnya. Dia meringis kesakitan, memohon ampun.
“Hi! Siapa kamu dan apa maumu?” tanyaku dengan kasar.
“Lepaskan saya dulu, biarkan saya bicara dengan baik dan benar.” Pintanya seraya menahan rasa sakit. Kulepaskan dia, aku sambil mengibaskan telapak tanganku, pandanganku tajam kearahnya layaknya seorang jagoan telah mengalahkan musuhnya.
“Nama saya Sur Yono, tapi orang-orang biasa memanggilku Mas No. Saya guru di SMU Nasional Sidarja.” Tuturnya. Mataku terbelalak mendengarnya, ternyata selama ini dia mengikuti aku ingin mengetahui tentang keadaanku dan mengapa keluar dari sekolah. Dan dia ingin sekali menginginkan aku kembali ke sekolah. Aku menghempaskan nafas, dan aku terduduk lemah. “Maaf, aku tidak bisa melanjutkan sekolah karena aku harus bekerja dan merawat ayahku yang sedang sakit.” Ajawabku yang masih menundukan kepala dan perlahan aku meninggalkanya, namun dia masih tetap mengikutiku, ia berusaha menghaling halangi langkahku.
“Dengarkan saya bicara, Uut. Saya tahu kamu sedang mencari kios untuk membuka warung es campur. Insya Allah ibu saya bisa membantumu, dia mempunyai kantin di sekolahan, nanti kamu bisa dagang es campur di sana, dan kamu bisa sambil meneruskan sekolah.” Langkahku terhenti mendengar tutur katanya. Ia segera meraih tangan kananku dan menarikku, aku pun mengikuti langkahnya. Hingga sampai di depan sebuah rumah yang sangat sederhana dan bersih.
“Ayo, masuk.” Ajak Mas No. aku pun melangkah masuk pelan pelan, Mas No memangil mangil ibunya yang berada di pelataran belakang.
“Ibu ada di belakang, ayo kita kebelakang.” Aku pun mengikutinya dari belakang, aku lihat ibunya sedang menghibur seorang perempuan yang terkena penyakit depresi. Aku melihat perempuan itu dari belakang, jadi haya terlihat bagian punggungnya saja, aku dan Mas No menghampirinya. Melihat seorang perempuan di depanku, lututku lemah dan menjatuhkan diri di depan seorang ibu yang aku rindukan. Saat itu juga tangisku tak tertahankan, kurabah wajah ibu dan kupeluk dengan rasa haru. “Ibu mengapa engkau jadi begini setelah meningalkan kami? Kenapa ibu? Kenapa?” tanyaku, namun ibu tetap membisu, air mataku terus mengalir dan terus mengalir
. “Lihat Ibu, lihat mataku Ibu, aku Uut anakmu.” Kupegang wajah ibu dengan kedua tenganku yang gemetar, kugerakkan wajahnya kekanan dan kekiri, aku berharap dia tahu siapa diriku, namun dia tetap membisu. Ibu dari Mas No menenangkanku seraya memeluk dan membelai bahuku, ia menceritakan tentang ibuku yang ditemukan sebulan yang lalu dengan keadaan seperti ini, ibu melarang mereka untuk melapor ke ke lurahan.
“Kami rasa ibu kamu hanya shok perlu waktu untuk istirahat menenangkan diri. Jadi kami berniat untuk merawat sampai dia normal kembali. Percayalah ibu kamu baik baik saja.” Ia menatap wajahku yang penuh dengan buliran air mata lalu ia menghapus dengan jari jarinya.
“Terima kasih, Bu. Sudah merawat ibuku selama ini, ijinkan Uut membawa ibuku pulang dan merawatnya.” Ia tersenyum lembut dan memelukku kembali dan menbisikan.
“Kamu anak baik.” Sejak itu, aku boyong ibuku kerumah, keadaan ibu pun membaik dan ia mau membantuku merawat bapak tanpa banyak bicara, dalam raut wajahnya tersinmpan rasa penyesalan yang teramat dalam. Dengan hadirnya ibu di rumah keadaan bapak pun membaik, ia dapat tersenyum kembali. Namun dengan senyumnya yang bahagia itu adalah senyuman terakhir untuk kami, ia berpesan untuk menjaga ibu dan kakak. Selamat jalan Ayah, terima kasih Ayah, kau telah bembing kami untuk menjadi wanita muslimah yang kuat dalam menghadapi cobaan hidup. Ya Allah, Engkau telah pindahkan ayah ke alam bahzra, ampunilah dosa-dosanya dan tempatkanlah ia di tempat yang mulia sisiMu, Aamiin…